Tidak Semua Orang Bisa Seperti Anda

Ketika saya kecil, berpendapat bukanlah hal saya. Ketika seseorang tidak setuju dengan pendapat saya, yang saya lakukan adalah menangis. Teman-teman saya menyebut saya cengeng dan hal ini berlanjut hingga saya SMP. Saya sering diolok-olok oleh teman-teman saya, “banci”, “culun”, karena sifat tersebut. Kendati demikian, apa kata wali kelas saya dari SD hingga SMP dan orang tua saya? “Jangan cengeng.” kata mereka. Sama seperti ketika sebuah tim sepakbola kebobolan. Apa kata fans? “Jangan kebobolan.” Lah ya, terus gimana? Enak banget hanya melihat dari satu sisi, tidak menggali lebih dalam. Sebuah tim sepakbola kebobolan bisa banyak penyebabnya, sebut saja ini curhat misalnya karena pemain-pemain bertahannya sudah terlalu tua dan pace yang dimiliki tidak sebaik ketika masa-masa primanya dahulu. Lantas, apa penyebabnya? Lingkungan hidup.

Sebagai manusia, saya tidak bisa memilih untuk lahir di keluarga yang seperti apa. Itu namanya tidak bersyukur atas nikmat Tuhan yang sudah diberikan kepada saya. Namun, tentu saya boleh mengkritisi demi masa depan yang lebih baik; terutama masa depan saya sendiri. Semasa kecil, kesempatan saya untuk berpendapat sangatlah minim. Berbeda pendapat, disebut melawan. Setelah itu, dimarahi. Masih berani berbeda pendapat? Dimarahi lagi. Diredam terus, hingga akhirnya tidak ada lagi asa untuk mengungkapkan pendapat. Last resort saya, menangis. Mau bagaimana lagi? Saya nggak bisa mengungkapkan pendapat. Kalau mengungkapkan pendapat, salah, dimarahi. Yasudahlah, nangis saja. Ah, dasar, pemikiran anak kecil. Tapi memang, menangis itu selalu menjadi senjata saya hingga SMP dulu. Duh, jadi malu. Lagi-lagi, yasudahlah, masa lalu saya. I need to embrace the past to see the future. Kembali ke topik, fenomena salah-dimarahi ini terjadi di lingkungan keluarga dan di lingkungan sekolah. Nah, ini sekolah nggak kalah pentingnya, sih. Seberapa sering kita mendengar cerita siswa kalau salah, disetrap atau dihukum? “Kamu nggak bikin PR? Keluar!” kata seorang guru kepada muridnya. Murid yang lurus, untuk mencegah kejadian yang sama, akan mengerjakan PR di rumah. Akan tetapi, tidak semua murid itu lurus. Selain itu, banyak juga faktor human error, yang paling umum adalah lupa. “Wah, lupa ngerjain PR. Lihat, dong!” Objektifnya adalah untuk tidak dihukum, bukan untuk menambah ilmu. Disini saja, niatnya sudah salah. Sama perumpamaannya dengan berpendapat. Objektifnya adalah untuk tidak dimarahi, bukan untuk mencari kebenaran. Orang berdiskusi tujuannya untuk mencari kebenaran kan? Tetapi, siapa yang mau berdiskusi kalau misalnya salah, dimarahi? Ketika zaman dahulu, mungkin metodenya demikian. Apakah ketika sudah berbeda generasi, metodenya harus tetap sama? “Gue dulu menderita pas baru masuk, elo juga harus menderita sekarang!” kata hampir setiap senior SMP dan SMA yang dulu memimpin MOS (Masa Orientasi Siswa).

Oke, jadi tadi sampai mana? Sampai saya cengeng. Sampai saya lulus SD, saya masih cengeng. Terus, saya masuk SMP. Kebetulan waktu zaman dahulu saya masih nurut-nurut aja ketika disuruh sisir rambut rapih, sampai sekolah saya dikira anak yang super-duper nerd. Atau mungkin lebih disangka “culun” oleh teman-teman saya waktu itu. Hari pertama, semua anak bersekongkol untuk menjadikan saya ketua kelas. Pada saat itu, kecengengan saya belum terekspos, tapi sepertinya sifat tersebut menunjukkan dirinya sendiri ketika orang lain melihat saya. Ya, saya adalah orang yang penurut, nggak mau melawan, iya-iya saja, yasudah, ketok palu, saya jadi ketua kelas. Pada dasarnya, secara hirarki, kalau jadi ketua kelas, saya punya power lebih atas rakyat-rakyat biasa, dong? Tidak terjadi pada saya. No one listened. Instead, orang-orang memperolok-olokkan saya dan menjadikan saya seperti “mainan”. Karena saya nggak bisa berpendapat juga, harus bagaimana? Beberapa hari berikutnya, saya intentionally melakukan perbuatan pengecut, sengaja salah baju, dan sengaja datang terlambat, sehingga nggak masuk sekolah. Ketika orang tua saya mengetahui alasan sebenarnya saya, mereka menjudge saya. Mereka memarahi saya. Alasan sepele menjadi ketua kelas membuat saya tidak mau masuk sekolah. Kembali lagi ke premis diatas. Kalau, teman-teman saya mau saya perintah dan mungkin, kalau, saya berani berpendapat, hal tersebut tidak akan terjadi. Masalahnya bukan pada “menjadi ketua kelas”. Terlepas dari alasan tersebut, saya mengakui kalau saya melakukan hal yang buruk dan tidak sepatutnya menjadi contoh.

“Yang namanya online itu buruk” – Anonim, 30 Desember 2017

Ketika saya SMP kelas 7, saya sering sekali main ke warnet sepulang sekolah. Senin sampai Jumat, ya paling tidak satu hingga dua jam, main DotA atau Counter-Strike. Pada periode waktu itu juga, saya membuka hidup saya ke suatu dunia yang belum pernah saya injak sebelumnya. Battle-Net. Suatu dunia yang menghubungkan satu pemain di tempat A dengan pemain lain, di tempat yang lain. Luckily, saya bertemu dengan orang-orang hebat, dan saya masih berteman dengan mereka hingga sekarang. Hal ini tentu bertentangan dengan orang-orang yang mengatakan, “Game online itu buruk. Menurunkan nilai, bikin nggak naik kelas, bikin DO kuliah, bikin ansos, dan lain-lain.” Yah, mungkin saya dapat jackpot. Mungkin nggak semua orang bernasib beruntung seperti saya. Paling tidak, saya merasa beruntung.

Singkat cerita, SMP kelas 8 saya diberikan fasilitas internet di rumah sehingga saya tidak perlu lagi ke warnet. Mulai saat itu, hubungan saya dengan teman-teman yang saya kenal sebelumnya bertambah intens (bukan intim). Berawal dari yang hanya main di Battle-Net saja, nyambung ke World of Warcraft, nah di game inilah saya merasa, saya berkembang cukup pesat. Di World of Warcraft, ada yang namanya Arena. Suatu tim berisikan 2/3/5 pemain, akan dipertandingkan dengan tim lain dengan jumlah pemain yang sama, dalam sistem laddering. Jadi, pemain-pemain mengantri, lalu akan dipertemukan dengan pasangan pemain yang lain. Kedua tim tersebut akan bertanding, yang menang mendapatkan poin, yang kalah kehilangan poin. Suatu ketika, saya dan teman saya sedang merangkak naik ratingnya. Namun, sampai pada suatu titik, sederetan kekalahan menerpa, dan saat itu terjadi konflik. Reaksi pertama saya, “Ah, udah ajalah. Nggak mungkin bisa naik lagi sama orang ini.” Saya dan dia pun tidak berkomunikasi selama berpuluh-puluh menit. Namun demikian, saya merasa ada sesuatu yang salah. Saya mencoba berdiskusi dengannya tentang apa yang salah dan apa yang dapat diperbaiki. Saya sangat ingat, dari yang awalnya kami hanya mampu mencapai rating 1200, bisa naik hingga ke 1500. Waktu itu cukup besar 1500, mungkin sampai top 25 server Indogamers untuk 2v2 (ato nggak? lupa). Ya, the power of freedom. Sekali itu, saya tidak takut untuk menyampaikan pendapat. And it felt good. Sementara waktu, berargumen lewat dunia virtual tidak jadi masalah.

Hore, lulus SMP! Sekarang ke SMA! Yha, ada MOS-MOSan juga. Sekarang, lebih parah. Free bullying. Free ongkir juga. Singkat cerita, mungkin pembaca sudah bosan sama cerita ini, yang ketika senior saya mengatakan, “Lo semua anj*ng! Pokoknya besok lo semua harus botak! Ada nggak yang nggak setuju?!” Ada. Saya. Orang yang takut untuk mengemukakan pendapat dari kecil. Teman-teman saya yang lain mungkin takut karena kalah otoritas. Atau mungkin karena teman si senior ini. God knows. Baju bagian dada saya dicengkeram lalu dia berkata kepada saya, “Kenapa lo ga mau?” Saya jawab, “Buang-buang duit.” Dia membalas, “Nih, duit! Besok lo pokoknya harus botak!” katanya sambil memberikan uang senilai 20 ribu rupiah, yang tidak saya pakai untuk potong rambut, tapi saya masukkan ke kotak amal. Mungkin orang lain lebih butuh dibandingkan saya. Nope. Ini udah masalah prinsip. Nggak ada esensi dari satu angkatan yang baru masuk harus botak. If you are talking about solidarity, everyone else including the seniors should do the same. Selain itu, murid-murid yang baru juga harus pake peci. Kesannya, untuk membedakan murid SMA kelas 1 dengan kelas 2 dan 3. Dan lagi-lagi, seperti biasa, yang baru masuk nggak boleh makan di kantin. Harus di bawa ke kelas. Setelah kejadian cengkeraman ayam itu, saya melapor ke ayah saya. Kalau teman-teman dan senior-senior saya tahu, pasti saya dicap lagi sebagai “banci” dan “tukang ngadu“. Ayah dan kakak saya yang pertama kesal dengan hal ini. Keesokannya, ayah saya datang ke sekolah, walaupun saya bilang tidak usah. Di sisi lain, ada salah satu pihak dari keluarga saya yang mengatakan, “Ah, itu sih, normal. Kamunya aja yang harus lebih tahan.” dengan nada santai. Mungkin saya harus mati dulu dalam baku hantam supaya sadar bahwa yang namanya bullying itu nggak normal, apalagi yang udah ada kontak fisik. Sekedar trivia, si senior yang mencengkeram saya ini di-DO tahun berikutnya karena ketahuan memukul murid kelas 1 SMA. Terkadang saya berpikir, kalau misalnya kejadian tersebut menimpa saya, apakah masih dicap normal?

Masih SMA. Sekarang kelas 2. Mau menceritakan aib sendiri lagi. Sekali lagi saya tekankan, ini aib saya. Jadi, ayah saya meminta saya untuk ikut les bahasa Inggris di suatu tempat namanya LIA, hanya karena kedua kakak saya juga les di tempat tersebut. Otomatis pressure ada pada saya, karena kedua kakak saya les disitu, kok. Saya juga harus ikut, dong. Katakan saya beralasan, tetapi saat itu 1) saya belum merasa butuh akan les tersebut, dan 2) saya tidak diberikan pilihan untuk menolak, boro-boro berani menolak. Saya mendaftar ke tempat tersebut dengan setengah hati, dan ketika hari pertama, saya merasa tidak nyaman dengan lingkungannya (mungkin ini efek berantai dari setengah hati, tidak berdasarkan kemauan sendiri). Akhirnya, saya bolos berkali-kali. Ketika orang tua saya mengetahui ini, mereka marah (tentu saja). Saya? Seperti biasa, hanya diam. “Kalau misalnya tidak setuju, kan bisa bilang.…saya diberikan kesempatan untuk menolak? Lagi-lagi, terlepas dari alasan yang saya kemukakan, perbuatan yang saya lakukan disini tidak baik juga.

Kembali ke dunia online. Masih di World of Warcraft, ceritanya saya menemukan teman baru, tetapi dia cukup keras sifatnya dan sedikit pemarah, walaupun deep inside, dia orangnya baik. Kebetulan, saya juga satu tim arena dengan dia, jadi saya harus mau tidak mau, menyesuaikan diri saya dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Hal penting yang saya petik dari pertemanan saya dengan dia (no homo) adalah, saya belajar bagaimana cara berkomunikasi dengan orang yang *mungkin* temperamental. Lagi-lagi, virtual. Paling tidak, saya belajar. Premis “Yang namanya online itu buruk” masih terbantahkan.

Sekarang SMA kelas 3. Disuruh ayah ikut bimbel persiapan SNMPTN Tulis (sekarang SBMPTN). Sekarang jadi mau ikut bimbel. Kenapa? Karena dulu waktu SMA kelas 2 akhir, punished so hard. Udah bagus-bagus dapet kesempatan masuk OSP Fisika tahap 1, malah disia-siain, akhirnya nggak lolos ke tahap 2. Dari situ berpikir bahwa sebenernya belajar di sekolah aja nggak cukup (karena boleh dibilang materi belajar di SMA saya dulu sangat jauh di bawah standar SNMPTN tulis). Jadilah ikut bimbel, walaupun saya dapat kesempatan menolak juga, tapi kali ini saya ambil… karena kesadaran sendiri. Bahwa diri ini masih lemah.

Long story short, gagal SNMPTN Undangan, lulus SNMPTN tulis, hore, masuk ITB! Ternyata nggak hore-hore amat. Banyak penyesuaian yang harus dilakukan. Saya harus bertemu dengan orang-orang dari berbagai penjuru Indonesia dengan berbagai sifat, tetapi untungnya mereka semua baik-baik. Inilah yang saya sebut bagaimana teman-teman saya di ITB membantu saya untuk berjalan kembali setelah diterpa angin dan hampir jatuh ke jurang. Mereka secara tidak langsung membantu saya untuk menyesuaikan dan memperbaiki diri. I will forever be thankful for that. Mengapa? Ya, karena mereka semua baik, saya mudah dekat dengan mereka, dan karena mereka sifatnya bermacam-macam, saya jadi tahu bagaimana cara berkomunikasi dengan orang-orang yang memiliki sifat tertentu. Teman-teman saya (termasuk kakak-kakak dan adik-adik kelas) sangat membantu melumatkan kegagapan berpendapat saya.

Bagaimana dengan teman-teman online saya? Mereka juga memiliki peran yang tidak sedikit. Semenjak tingkat 2 (berarti tahun 2013), saya sering mengikuti kompetisi online bersama mereka. Tentu saja, yang namanya kompetisi pasti ada yang namanya kalah (dan sampai pertengahan 2015, seringnya kalah). Disitu pasti ada konflik. Terkadang, ada konflik yang bisa diselesaikan baik-baik, dan ada pula yang tidak, walaupun sebagian besar adalah yang bisa diselesaikan baik-baik. Intinya, dari situ, saya merasa seluruh perdebatan yang dilakukan membuat saya lebih dewasa. Tetapi lagi-lagi, karena pada waktu-waktu sebelumnya (sejak saya SMP) sudah dibiasakan untuk berdiskusi. Apabila tidak, pasti cukup pelik ketika debat habis kalah turnamen dalam lingkungan yang heterogen.

Sebetulnya, selain teman-teman ITB dan online, ada satu pihak lagi yang membantu saya untuk berpendapat, yaitu tempat kerja saya yang sekarang, yaitu eFishery. Ketika saya resmi bekerja di tempat ini (atau itu?), saya pikir bekal pengalaman berpendapat dari waktu-waktu sebelumnya sudah cukup. Ternyata, tidak. Benar, lingkungan kerja berbeda dengan lingkungan kuliah dan lingkungan online tempat bermain saya, karena orang-orangnya jauh lebih beragam, tidak hanya beragam sifat, tapi juga pengalaman dan ilmu. Walaupun demikian, saya merasa beruntung karena di tim software, setiap anggota diberikan kesempatan berbicara dan berpendapat, dan tanggapannya pun selalu konstruktif, bukan menyalahkan. Hal ini adalah stimulus yang sangat dibutuhkan oleh orang yang malu-malu untuk berpendapat (baca: saya). Saya teringat ketika rekan kerja saya berdiskusi dengan saya dan saya hanya “iya-iya” saja, dia berkata, “Ji, kalo misalnya ane punya pendapat, lawan aja. Kalo nggak, nggak jadi diskusi, dong.” Yah, alhamdulillah sejak itu, saya jadi “lebih” berani berpendapat, walaupun belum seberani orang-orang yang memang berani.

TL;DR

Jadi, sebenernya panjang lebar ini intinya apa sih? Iya, seperti kata judul! Tidak semua orang bisa seperti Anda. Dan ini bisa dilihat dari sisi positif dan negatif. Setidaknya, ada 3 kemungkinan. Ceritanya orang lain si X, dibesarkan di lingkungan yang kurang sehat untuk berpendapat. Dia bisa jadi:

1) orang yang sangat bersemangat untuk berpendapat; contohnya pahlawan-pahlawan kemerdekaan, dijajah, ngelawan
2) orang-orang seperti saya, yang butuh orang lain untuk bisa berpendapat; contohnya orang-orang yang tersulut pahlawan-pahlawan kemerdekaan, awalnya diem, karena efek orang lain, jadinya ngelawan
3) orang-orang yang sulit berpendapat, terlepas dari ada atau tidak adanya orang-orang lain yang menyulut mereka; contohnya orang-orang yang maunya dijajah aja

Kapabilitas tiap orang untuk memutarbalikkan kondisi mental itu berbeda-beda. Sangat tidak bijak kalau misalnya “Gue bisa, kok!” terus langsung kita samaratakan ke orang lain. Alangkah baiknya kalau kita mengakui kalau manusia itu diciptakan berbeda-beda supaya saling mengenal. Maka dari itu, treatmentnya pun belum tentu bisa sama setiap orang.

Yang lebih penting lagi, kondisi psikologis anak sangat vital. Tidak semua orang bisa melupakan masa kecilnya yang pahit. Anda bisa, ada orang yang belum tentu bisa. STOP EGOIS. Banyak orang di luar sana yang bunuh diri karena orang terlalu egois, sehingga dengan mudahnya ngomong hal-hal yang menyakiti orang, lalu berdalih, “Ah, sepele kok”, “Kan niatnya baik“, dan “Kalau digituin harus kuat!”. Kembali lagi, tidak semua orang bisa seperti Anda.

Terakhir, saya merasa sistem pendidikan di Indonesia perlu dibenahi. Pendidikan tidak harus punishment-oriented, tetapi reward-oriented. Sulit? Tentu! Karena lebih bingung nyari reward daripada nyari punishment, bukan? Tetapi, kalau kita lihat ke manfaatnya jauh ke depan, mungkin, akan worth it kalau mulai dicoba-coba di sekolah-sekolah.

One thought on “Tidak Semua Orang Bisa Seperti Anda

  1. Menurutku masalahnya di sistem pendidikan. Pertama, ga diajarkan embrace terhadap kesalahan. Kedua, ga dibiasakan berbeda pendapat, bahwa guru/senior lebih benar. Jadi orang ga berani belajar dari kesalahan, karena takut salah

Leave a Reply - No foul language and spam please :)