Perjalanan Turki-Makkah-Madinah, April 2018

Ingin menulis ini sejak lama, sejak kembali dari tanah suci. Namun, apa daya, tidak ada motivasi untuk menulisnya. Supaya waktu Anda juga “hemat”, saya akan mencoba seringkas mungkin menulis kisah ini.


Manasik (semacam “gladi kotor”nya haji/umrah)

Indonesia. Negara yang lucu, kaya akan keberagaman, namun setiap entitas dalam keberagaman itu terkadang destruktif terhadap yang lainnya. Ketika saya mendapat kesempatan langka untuk mengunjungi rumah Allah (bonus perjalanan ke Turki karena satu “paket”), saya memiliki ekspektasi tinggi. Saya berasumsi kalau orang-orang diundang ini adalah orang-orang terpilih, yang insyaAllah akan menjadi pribadi yang mulia (semoga saya termasuk, walaupun saya sendiri pun tidak yakin dengan diri saya sendiri).

Ekspektasi itu mulai meningkat sejak manasik. Bagaimana tidak, menurut saya, buat orang yang pertama kali akan melaksanakan ibadah ini, manasik yang diselenggarakan ini cukup bagus. Namun, yang saya ingat dari manasik ini bukanlah prosesi manasiknya sendiri, namun perbincangan saya dengan Pak Ustadz yang memimpin acara tersebut.

Pada kesempatan tersebut, saya bertanya ke beliau, apakah orang yang jahat itu sudah ditakdirkan jahat oleh Allah, atau apakah orang tersebut masih bisa berubah. Beliau menjawab sesuai ekspektasi saya, yaitu berdasarkan QS. Ar-Ra’d: 11, Allah tidak akan mengubah nasib orang-orang yang tidak ingin mengubah nasibnya sendiri. Orang “memilih” untuk jahat itu adalah qadar, sehingga tentu saja, kalau orang tersebut mau, dia bisa menjadi “tidak jahat” lagi.

Dari situ, saya tahu. Saya belajar hal baru. Pernyataan “saya memang begini” ketika seseorang diberi saran adalah pernyataan omong kosong, yang menandakan bahwa orang yang mengatakan demikian tidak mau berusaha untuk mengubah dirinya sendiri ke arah yang lebih baik.


Sebelum Keberangkatan

Masih dengan keyakinan saya bahwa perjalanan ini bakal jadi perjalanan yang seru dari segi konten, saya merasa dipengaruhi dari berbagai sisi bahwasanya perjalanan ini akan menjadi perjalanan yang melelahkan dan semacamnya, oleh orang Indonesia (saya tidak mau sebut nama). Saya tidak percaya. Saya yakin kalau saya “meng-iya-kan” perjalanan ini sebagai perjalanan yang melelahkan, mindset itu akan nempel sampai nanti kembali ke Indonesia, yang secara tidak langsung akan membuat saya seolah-olah “merasa lelah”.


Turki

Sebelum masuk ke bagian ini, perlu saya beritahukan bahwa sekitar 1/3 atau 1/4 dari rombongan saya adalah beliau-beliau yang sudah lanjut usia. Di Turki ini, banyak sekali aktivitas yang melibatkan “jalan”. Apakah Anda tahu ini mengarah ke mana?

Yap. Banyak mata acara yang ngaret. Di satu sisi dari turnya, mungkin harusnya adaptasi dengan kondisi rombongan, seperti mengurangi tempat yang dikunjungi sehingga waktu yang tersedia untuk berjalan dari satu tempat ke tempat yang lain semakin “lega”. Contoh tempat-tempat yang bisa dihilangkan, contohnya selama di Turki, banyak aktivitas tur di toko-toko brand tertentu, yang tentu saja harganya “tidak murah”, seperti karpet atau produk-produk kulit.

Betul, pihak tur perlu banyak evaluasi. Tapi, yang bikin saya sebal adalah, kenapa rombongan pun tidak mau introspeksi diri sendiri? Contohnya, untuk suatu mata acara, diberikan waktu 1 jam 30 menit, lalu rombongan diharapkan sudah berkumpul di titik temu yang sudah ditentukan di awal. Ternyata, lebih dari 1 jam 30 menit, kalau tidak salah sempat jadi 2 jam, yang menyebabkan acara berikutnya hampir batal. Apa yang seharusnya rombongan lakukan? Tepat waktu. Apa yang mereka lakukan? Mengeluh. “Waktunya terlalu singkat buat foto-foto”. Jujur, saya menangis di bis karena acara berikutnya adalah hasil reschedule dari hari sebelumnya, karena hari sebelumnya pun acara tersebut dibatalkan karena ngaret.

Hal terakhir yang bikin saya sebal, jadi selama di Turki, pindah hotel 2x, karena hotel yang kedua lebih dekat ke bandara dibandingkan hotel pertama. Nah, jadi ceritanya rombongan turun dulu ke lobby hotel dengan handbag (dan/atau koper kecil) untuk mendapatkan kunci kamar dengan bagasinya (koper besar) menyusul, karena bisnya tidak muat masuk ke tempat drop-off hotel (hotelnya seperti hotel yang masih baru/sedang renovasi di bagian luarnya).

Setiap keluarga sudah mendapat kunci kamar. Lalu apa yang mereka lakukan? Mengeluhkan lamanya koper sampai ke lobby. Apa yang seharusnya mereka lakukan? Mobilisasi koper-koper kecil dari lobby ke kamar terlebih dahulu, mungkin? Sehingga ketika koper besar sudah ada di lobby, rombongan hanya perlu memasukkan koper besar ke dalam kamar saja. Kalau ada koper kecil, mungkin hanya 3-4 orang yang muat di lift. Tanpa koper kecil, mungkin bisa muat 5-6 orang di dalam lift.

Pelajaran yang saya ambil dari rombongan Indonesia di Turki: kalau terlalu banyak mengeluhkan orang lain, kita jadi lupa untuk introspeksi diri sendiri.


Makkah

Beribu syukur sudah pernah melihat Ka’bah langsung dengan mata ini. Salah satu do’a saya dahulu adalah saya ingin bisa mendengar adzan langsung di Makkah, yang akhirnya pada April silam, tercapai.

Alhamdulillah, banyaknya cerita yang bagus-bagus di Makkah. Lima foto di atas adalah foto setiap sebelum/setelah waktu sholat di Masjidil Haram. Seru, pengen bisa ke sana lagi suatu saat. Sebelum waktu Zuhur, bermandikan sinar matahari di lingkaran luar (lingkaran dalam biasa dipakai orang untuk tawaf), ternyata tidak “sepanas” yang dibayangkan. Terik, iya, tapi terik sejuk. Agak aneh untuk orang yang biasanya di Indonesia kalau terik, selalu terik panas.

Keluhan saya cuma 2, untuk rombongan Indonesia, di hotelnya ada tempat makan sendiri. Nah, tipe makanannya ini prasmanan (ambil sendiri). Namun, banyak orang-orang yang mengambil banyak, tapi tidak dihabiskan.

Pelajaran yang saya ambil dari rombongan Indonesia di Makkah: berada di lingkungan yang suci tidak menjanjikan Anda untuk menjadi pribadi yang baik.


Madinah

Kemudian, Madinah. Kota yang menurut saya sangat megah, termasuk Masjid Nabawi. Bagaimana tidak, pas pertama liat payung-payung yang terbentang lebar ketika siang hari dan tertutup ketika malam hari, itu lumayan wow effect bagi saya. Bagian interior masjidnya pun, sangat-sangat luas. Hotel saya berada di sebelah timur masjid, jadi kalau mau ke beberapa shaf terdepan, mungkin harus jalan sekitar 2-3 menit dulu, karena luasnya bukan main.

Alhamdulillah, perjalanan di Madinah pun tidak terlalu banyak keluhan, kecuali orang-orang Indonesia, yang tidak tahu cara antri, baik itu ketika antri makanan, atau “mengambil” meja yang sudah ditempati orang.

Pelajaran yang saya ambil dari rombongan Indonesia di Madinah: adab mengantri itu perlu, supaya nggak dilemparin sendal sama orang.


Demikian, secara keseluruhan, saya menikmati perjalanan tersebut. Namun, dari pihak tur penyelenggara pun seharusnya bisa lebih baik lagi, menimbang mereka memiliki data lengkap rombongan, sehingga mereka bisa melakukan adaptasi terhadap jadwal tur yang kira-kira berlebihan bagi beliau-beliau yang lanjut usia atau memiliki penyakit tertentu.

Bagi rombongan pun, mereka seharusnya bisa lebih menjaga “nama baik” Indonesia. Bukan berarti karena kita membayar, kita terbebas dari introspeksi diri. Saya merasa ketika kita berada di luar negeri, atau ketika kita berhubungan dengan orang non-Indonesia, sangat penting untuk menjaga adab kita. Jangan sampai perilaku kita membuat penduduk tuan rumah “trauma” atau men-stereotip-kan turis Indonesia yang jelek-jelek. Seberapa sering kita bilang kalau “orang bule” di Indonesia nggak tahu aturan? Mungkin itulah yang juga mereka lihat ketika turis kita berada di negara mereka.

Terakhir, bagi kalian-kalian saudara/i Muslim/ah yang belum sempat mengunjungi rumah Allah, semoga kalian diundang secepatnya =)

Leave a Reply - No foul language and spam please :)