Ikan Besar di Laut yang Biru

Dua Puluh Tujuh

Hari ini topiknya cukup sulit. Mungkin, topik tersulit dari seluruh pilihan topik yang ada, hmm. Kenapa? Karena background saya adalah teknologi informasi… dan sepertinya saya jarang sekali berhubungan dengan ikan, kecuali dulu waktu kecil suka beli ikan buat ditaruh kolam rumah, atau ikan cupang buat diliatin di meja muter-muter. Lagi-lagi, pelihara cuma pelihara saja. Saya tidak mencari tahu bagaimana best practices memelihara ikan-ikan tersebut. Alhasil, umur-umurnya juga tidak terlalu lama. Well, mungkin untuk ikan kolam lumayan lama sih, karena memang jarang ada wabah atau ikan yang membutuhkan treatment khusus. Baru resume “game” lagi ketika di eFishery, ketika saya dikenalkan dengan teknologi yang membantu petani dalam membudidayakan ikan dan udang.

Plot twistnya adalah, pada post ini saya tidak akan bahas banyak tentang ikan budidaya *jeng jeng jeng*. Nggak deng, tadinya pengen kepikiran ngepost tentang pembunuhan massal pilot whales (nggak tahu bahasa Indonesianya apa), lalu teringat bahwa paus itu bukan ikan, tetapi mamalia, huft. Ya, jadinya kembali lagi ke ikan budidaya.

a-group-of-small-breeding-ponds-tanks-in-indonesia
Kolam-kolam Buatan di Suatu Daerah di Indonesia

Saya ingat bagaimana saya mulai mengenal dulu tentang ikan budidaya berkat penjelasan Teh Zarah pada suatu hari, ketika tech talk internal dari divisi inovasi di ruangan meeting di kantor Cikutra yang lama. Berkat tech talk itu, saya jadi tahu, bagaimana habit, ekosistem, hingga siklus hidup dari ikan-ikan budidaya. Sebelumnya, saya tidak tahu kalau sebenarnya ikan kalau hujan, malam, atau kondisi airnya jelek, nafsu makannya cenderung menurun (kalau tidak salah). Ternyata, lumayan kompleks juga tantangan yang dihadapi oleh teknologi automatic feeder ini. Nggak cuma sekedar ngasih makan otomatis tiap beberapa waktu, tetapi juga harus mempertimbangkan waktu dan cuaca. Adapula ekosistemnya yang air tenang dan air deras. Ketika mendengar air deras, saya kepikirannya adalah, “Bagaimana cara ngasih makannya? Kebawa air dong pakannya terus ikannya nggak makan? Emangnya mereka sanggup refleks makan pakan yang terbawa arus yang sedemikian cepatnya? :/“, pikirku waktu itu dengan polosnya. Ternyata, setelah melihat videonya, arusnya tidak selebay itu, hehe. Pakan yang digunakan pun harus bisa lebih bertahan di air, kalau tidak, dapat hancur dihantam oleh air yang mengalir. Terkait habit dari ikan, waktu itu diberikan contoh ikan nila yang katanya demen banget kawin dan ikan lele yang bisa kanibal. Jeruk aja nggak boleh makan jeruk, kenapa ikan boleh makan sesamanya? Terakhir, dari siklus hidup ikan. Ternyata, kalau tidak salah, ikan juga kalau masih kecil digedein dulu di suatu tempat, nanti setelah melewati fase pembenihan, baru bisa dilepas di kolam budidaya. Hmmm, ternyata ribet juga ya.

Setelah selesai tech talk itu, saya cukup senang karena bisa belajar hal lain di luar teknologi informasi adalah salah satu hal yang saya inginkan. Rasanya rugi, apabila saya bekerja di suatu perusahaan multidisiplin, tetapi yang saya dapatkan hanyalah ilmu terkait domain saya saja.

2 thoughts on “Ikan Besar di Laut yang Biru

  1. Pingback: Tanerys

Leave a Reply - No foul language and spam please :)